1989 , pertama kali aku mendengar lagu ini. Sebuah ost dari drama yang berjudul sama. Di tahun itu, aku duduk di kelas 1 SPG Santa Maria, Jl. Ir. Juanda, Jakarta Pusat. Walaupun sudah sekolah di sini tapi aku masih tidak yakin ini adalah pilihan yang terbaik untukku. Aku tidak yakin bisa jadi guru yang baik nantinya. Aku tahu siapa aku, dengan sifat ku dan kejudesanku , apakah aku bisa jadi seorang guru ? kenapa aku mau diminta mama untuk sekolah di sini ? Aku hanya berbekal mama pasti tidak salah dalam hal ini .
Hampir semua orang yang mengenal aku terkejut karena aku memilih masuk sekolah ini. Terutama karena kejudesan aku. Hanya seorang teman yang selalu mendorong semangatku dan meyakinkan aku, kalau aku pasti akan jadi guru yang baik nantinya. Namanya Arief Mulyana Tresna. Seorang teman yang ku kenal dari kegiatan ekskul sewaktu aku di SMPN XX, Kramat Jati. Pada awal mulanya aku tidak begitu suka dengannya karena terlalu talk active , terlalu ramah menurutku. Tipe yang aku tidak sukai. Tapi lama kelamaan aku merasa nyaman berteman dengannya. Malahan aku lebih dekat dengannya daripada teman-temanku yang lain. Aku lebih bisa terbuka dengannya dibandingkan dengan teman lain (Aryanti dan Mayya). Aku, Aryanti, Arief , dan Mayya menjadi sangat dekat. Apalagi kami diberi kepercayaan menjadi pelatih di koord.SMPN XX dalam ekskul pencak silat. Karena senior kami mulai sibuk dengan pekerjaan mereka. Arief , walaupun tidak bersekolah di sekolah yang sama dengan kami, dia menjadi pelatih utama, apalagi dia cowok sendiri. Setiap kami ada waktu senggang, kami selalu berkumpul di rumah salah satu kami. Merencanakan program latihan, saling berbagi pengalaman sekolah ( Aryanti dan Mayya bersekolah di SMA, sedangkan aku dan Arief (STM)di sekolah kejuruan), makan di warung bakso atau tempat makan lain.
Setiap ada masalah atau hanya sekedar cerita Arief selalu mencariku. Kami seperti saling bergantung satu sama lain, walaupun kami tidak pernah mengungkapkannya. Aku selalu berusaha selalu ada untuknya, karena dia satu-satunya sahabatku sampai sekarang. Orang-orang yang mengenal kami, menyebut kami “pasangan”, tapi kami selalu menjawab jika ditanya hanya sahabat dekat saja. terutama aku. Alasan utamaku karena aku takut kehilangan dia. Cinta…hhmmm…mungkin…he was my soul mate. Terlalu berharga untuk hilang. Arief pernah mengungkapkan “Nes, gue suka lu! Mau jadi pacar gue ngga ? ” Jawabanku kita berteman saja ya. .kamu sahabat yang terlalu berarti untuk hilang. karena kalau pacaran , bisa putus dan hilang. Reaksi Arief hanya senyum dan menggenggam tanganku. Setelah itu tidak ada yang berubah dengan kami. tetap dekat dan bersahabat.
Kadang aku merasa Arief terlalu over protektif denganku, terutama kalau ada teman-teman cowok yang lain (dalam kegiatan pencak silat). Selalu berusaha duduk disampingku, seolah berusaha teman yang lain tidak boleh dekat denganku. Hanya adik seperguruan , dia santai. Antar jemput selalu dia lakukan untukku. Walaupun suatu saat dia punya pacar adik seperguruan , tapi dia tidak berubah denganku. Kadang aku harus mengingatkan sikap dia kepadaku, karena kuatir pacarnya cemburu. Pada akhirnya dia putus dengan pacarnya. Aku tanya apakah karena persahabatan kami. Dia selalu bilang tidak.
Arief dekat dengan keluargaku. Satu-satunya teman cowok yang memanggil mamaku dengan sebutan mami. Selalu dengan santainya dia memanggil mamaku dengan kata mami. Jika lapar dia selalu minta mie pada mbahku atau padaku.
19 Maret 1995 adalah hari yang tidak akan pernah kulupakan. Di hari itu aku kehilangan sahabatku Arief karena kecelakan. Masih ingat saat mama memberitahukan kabar duka itu. Aku baru pulang dari sekolah dimana aku mengajar (saat itu aku sudah hampir 4 tahun mengajar di SD Santo Yakobus, Kelapa Gading.) Mama menungguku dan menyampaikan kabar itu setelah aku duduk. Perasaanku serasa mati rasa, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Karena pada pagi harinya, aku masih ketemu Arief. Masih bercanda, ngobrol, dia masih berdiri disampingku dan makan nasi uduk di Sunter , dan Arief menyemangati aku ” Ngajar yang sabar ya, Nes ! “sebelum aku naik mikrolet menuju sekolah. Lalu aku mencoba menelpon hp Arief. Tidak ada jawaban (ternyata hpnya rusak, karena ada dikantong bajunya saat iya terjatuh di saluran irigasi dan terjebak di sana) Ku coba menelphon Aryanti dan Mayya. Aryanti menjawab dan memberi jawaban yang sama seperti yang mama katakan. Aku dan Aryanti janjian untuk datang ke rumah Arief malam itu. Selama diperjalanan, kami membisu. Mungkin lebih tepatnya aku yang membisu. Sesampainya di rumah Arief, sudah banyak teman-teman yang datang. Kebanyakan dari mereka, teman-teman silat. Mereka sudah melihat jasad Arief yang terbaring di ruang tamu rumah orang tuanya. Aku tak dapat melihat karena alasan tertentu yang tak dapat dilanggar. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan. Baru 2 hari setelah Arief di kuburkan, aku bisa dekat dengannya lagi. Aku datang bersama Aryanti. Ku bawa sekuntum mawar putih. Banyak yang ingin kukatakan tapi kuharap Arief melihat bunga mawar putih yang ku letakan di pusaranya. Dan tahu apa yang tak dapat kuungkap kan.
I don’t want to say Good bye , because you are in my heart. My best friend … my soul mate ….my angel …
21 tahun sudah berlalu , memori itu masih jelas di benakku. Dan airmata dan sesak didada itu masih terasa sakit.
Missing you always